This article is taken from my paper presented in my classroom discussion when I was teaching the course Ilmu Pendidikan at Department Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Arrasyid Pondok Pesantren Al-Furqon Driyorejo Gresik East Java Indonesia.
This article discusses the nature of education as the first step to comprehending the pedagogy. It is theoretically expected that they will get the picture of nature of education, and practically hoped that their pedagogy will be applied in the education field, to educate their children–their own children and students. Hence, of the important things that should be engaged, the first phase is to really get to know education as formal and material objects of pedagogy. Understanding it comprehensively earlier, the educators will have knowledge of pedagogy that will be implemented in the real world of education.
Keywords: Nature of Education, Pedagogy, Education
ABSTRACT
Education should be provided as
earlier as possible for children initiated when in the pregnant called prenatal
education, in school age, and in adult age as well continually. As educated
people such as parents, teachers, students, and student teachers, it is very
much necessary to have a basic understanding of pedagogy.This article discusses the nature of education as the first step to comprehending the pedagogy. It is theoretically expected that they will get the picture of nature of education, and practically hoped that their pedagogy will be applied in the education field, to educate their children–their own children and students. Hence, of the important things that should be engaged, the first phase is to really get to know education as formal and material objects of pedagogy. Understanding it comprehensively earlier, the educators will have knowledge of pedagogy that will be implemented in the real world of education.
Keywords: Nature of Education, Pedagogy, Education
A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu
ranah yang terpenting dalam kehidupan manusia. John Locke, penggagas teori
Tabularasa/teori Empirisme, mengatakan bahwa seorang manusia lahir ke dunia
pada hakikatnya masih seperti kertas putih yang belum ternoda sama sekali.
Dalam keadaan seperti inilah kertas putih ini siap untuk dicoret-coret dengan
pena. Artinya bahwa anak yang baru terlahir ke alam dunia yang fana’ ini siap untuk diajari oleh sang
ibunda tercinta, sang ayahanda, keluarga, tetangga, dan lingkungan sekitarnya.
Dengan pena yang ditorehkan oleh orang tua dan lingkungan sekitarnya itulah
anak kecil akan mulai merasakan pendidikan step
by step sehingga anak tersebut akan berkembang menjadi seorang manusia dewasa,
yang kelak akan bisa menjadi manusia dambaan orang tua, bangsa, dan agamanya.
Di sinilah pendidikan sangat berperan penting bagi pembentukan karakter pribadi
seseorang sehingga mereka mempunyai kepribadian yang luhur (berakhlak mulia).
Dengan akhlak yang dimilikinya itu mereka selanjutnya akan bisa bermasyarakat
yang kemudian akan terbentuk juga sosial karakternya.
Sebenarnya dalam konsep pendidikan
anak sejak dini telah dikenal sebuah pendidikan yang dinamakan dengan pendidikan
pranatal, yakni pendidikan yang terjadi ketika anak masih dalam kandungan
seorang ibu. Dalam masa-masa ini amat sangat penting bagi kedua orang tuanya
(terutama sang ibu) untuk selalu menanamkan kepribadian yang luhur kepada sang
jabang bayi. Hal ini sangat urgen dan berguna karena anak yang masih dalam
kandungan selain membutuhkan asupan gizi yang cukup juga membutuhkan asupan
kasih sayang dari orang tuanya. Sehingga dengan demikian anak terlahir ke dunia
akan bisa dengan mudah untuk menerima torehan pena dari orang tua, keluarga,
dan lingkungan sekitarnya sebagaimana yang diungkap di atas.
Sekali lagi bahwa pendidikan bukan
hanya diperlukan ketika anak dalam usia tertentu saja melainkan pendidikan
harus diberikan sedini mungkin, dimulai sejak dalam kandungan, ketika lahir ke
dunia, memasuki usia anak sekolah, dan hingga saat menjadi manusia dewasa.
Dengan demikian pendidikan harus diberikan dengan cara yang berkelanjutan (continually)
atau istiqomah. Dalam masa-masa pendidikan anak tersebut, kita sebagai
orang tua/calon orang tua, lebih-lebih kita yang berprofesi sebagai
pendidik/calon pendidik diharapkan bisa memahami urgensi dari pendidikan yang
kita tanamkan kepada mereka. Maka dari itu kita harus mengenal serta memahami
secara teoritis dan praktis tentang ilmu pendidikan. Secara teoritis kita akan
memahami apa hakikat ilmu pendidikan, dengan harapan secara praktis ilmu yang
kita miliki ini akan bermanfaat bagi diri sendiri selanjutnya akan dapat
dipraktikkan bagi pendidikan anak-anak kita di rumah dan anak didik kita di
sekolah dalam masa-masa mendatang.
Pembahasan
dalam artikel ini diangkat dari makalah yang disampaikan dalam perkuliahan saat
penulis mengampu matakuliah Ilmu Pendidikan di Jurusan Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Arrasyid Pondok Pesantren Al-Furqan Driyorejo Gresik
Jawa Timur. Rumusan masalahnya adalah bagaimana hakikat pendidikan di
tengah-tengah kehidupan manusia. Dengan demikian artikel ini bermaksud untuk
menguraikan benang kusut dari misteri hakikat pendidikan yang pembaca telah ataupun
belum mengetahuinya sebelumnya. Dalam uraiannya tulisan ini difokuskan pada beberapa
hal diantaranya: konsep dasar dan ruang lingkup pendidikan, pendidikan sebagai
suatu sistem, elemen-elemen dalam sistem pendidikan, teori klasik dalam
pendidikan, serta relevansi antara pendidikan dan ilmu pendidikan.
B. KONSEPSI
DAN RUANG LINGKUP PENDIDIKAN
1. Pendidikan
ditinjau dari Etimologis
Konsep pendidikan ditinjau dari arti
kata menurut Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris seperti diuraikan oleh Tim
MKDK IKIP Surabaya (1994), yaitu:
a.
Dalam Bahasa
Indonesia, dikutip dari kamus Bahasa Indonesia oleh W.J.S.
Purwodarminto, “pendidikan” diartikan sebagai perbuatan (hal, cara) mendidik.
Sedangkan arti kata “mendidik” yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran,
pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
b.
Dalam Bahasa
Inggris, ada istilah “education” yang berasal dari Bahasa Romawi
“educare” yang berarti pendidikan. Sedangkan mendidik diterjemahkan dari
“educate” yang artinya to develop or
train the mind of to teach to prepare for a special profession or vocation
(mendidik disamakan dengan mengajar dan juga mempersiapkan untuk suatu
jabatan/profesi tertentu).
2. Definisi
Pendidikan
Definisi pendidikan berikut ini dikemukan
oleh tokoh-tokoh pendidikan yang terkenal dalam dunia pendidikan dan tokoh/ahli
yang berorientasi pada salah satu atau mono
displin ilmu tertentu yang dikutip dari Tim Dosen FIP IKIP Malang (1980) dan Tim
MKDK IKIP Surabaya (1994).
a. Menurut ahli/tokoh Pendidikan
M. J.
Langeveld mengatakan bahwa mendidik adalah memberikan pertolongan secara
sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya
menuju ke arah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung
jawab susila atas segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Manusia
pada hakikatnya adalah makhluk individu, social, dan susila. Sesuai hakikat
kemanusiaan itu, maka tujuan pendidikan adalah membimbing anak ke arah
kedewasaan (membentuk individu yang berkesadaran sosial dan susila atau
membentuk pribadi sosial yang bermoral).
John Dewey memandang pendidikan sebagai suatu proses,
yaitu bahwa pendidikan diartikan sebagai tuntunan terhadap proses pertumbuhan
dan proses sosialisasi dari anak. Dalam proses pertumbuhan, anak akan
mengembangkan diri ke tingkat yang makin lama makin sempurna. Sedangkan yang
dimaksud dengan proses sosialisasi adalah proses untuk menyesuaikan diri ke
dalam masyarakat yang penuh dengan banyak problem yang senantiasa berubah dan
berkembang secara dinamis. Karena kedua proses tersebut selalu dialami manusia
sepanjang hidupnya, maka dengan kata
lain bahwa pendidikan berlangsung selama hidup yang dimulai sejak manusia lahir
sampai mati atau long life education.
Ki Hajar
Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, merumuskan bahwa pendidikan yaitu
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya. Pendidikan berarti juga daya upaya untuk memajukan
perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani
anak-anak, sehingga kita dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu kehidupan dan
penghidupan anak-anak selaras dengan alamnya dan masyarakat. Jika dikaitkan
dengan semboyan “ Tut Wuri Handayani, Ing Madyo Mangun Karso Ing Ngarso Sung
Tulodo,” maka upaya memajukan anak berarti menyikapi subyek didik sebagai
pribadi (persona) yang potensial untuk berdiri dan maju atas kekuatannya
sendiri. Dengan demikian pendidikan adalah sebagai suatu upaya menyediakan
situasi, kondisi dan fasilitas yang dapat memberikan pengalaman belajar yang
relevan dengan masa depan anak-anak bangsa.
Rechey, dalam
bukunya “Planning for Teaching: An Introduction to Education”, mendifinisikan
pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung
di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktifitas sosial yang esensial
yang memungkinkan masyarakat kompleks, modern, fungsi pendidikan ini mengalami
proses spesialisasi dan melembaga dengan pendididkna formal, yang tetap
berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah.
Lodge, dalam
bukunya, “Philosophy of Education” mengatakan bahwa perkataan
“pendidikan” dipakai dalam pengertian yang lebih luas dan lebih sempit. Dalam
pengertian lebih luas, semua pengalaman dapat dikatakan sebagai pendidikan.
Dengan demikian hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup. Dalam
pengertian yang lebih sempit, pendidikan dibatasi pada fungsi tertentu di dalam
masyarakat yang terdiri atas penyerahan adat-istiadat (tradisi) dengan latar
belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada generasi berikutnya.
Maka dari itu pendidikan berarti (praktiknya) identik dengan “sekolah” yaitu
pengajaran formal yang aturannya dikondisikan sedemikian rupa.
Sementara itu, Brubacher mendefinisikan pendidikan
dalam bukunya “Modern Philosophies of Education” bahwa, pendidikan
diartikan sebagai proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian
dirinya dengan lingkungan, teman, dan alam semesta. Dengan demikian pendidikan
adalah proses dimana potensi-potensi (kemampuan, kapasitas) yang dimiliki
manusia supaya disempurnakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang baik, oleh alat
(media) yang disusun sedemikian rupa dan dikelola oleh manusia untuk menolong
orang lain atau dirinya sendiri untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
b. Menurut Mono Disipliner
Pandangan Sosiologis merumuskan
bahwa pendidikan hendaknya dilihat sebagai aspek sosial. Dengan demikian pendidikan
adalah sebagai usaha (proses) pewarisan sosial dari generasi ke generasi. Pandangan Antropologis (budaya) melihat
pendidikan dari segi budaya. Oleh karena itu pendidikan dirumuskan sebagai
usaha pemindahan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya.
Pandangan Psikologis mengatakan
bahwa pada prinsipnya pendidikan diartikan sebagai perkembangan (pertumbuhan)
kapasitas individu secara optimal. Jika orientasinya kepada behaviorisme, maka
aspek tingkah laku (behavior) yang dipentingkan, dan jika kepada ilmu jiwa
individual, maka aspek individual yang diutamakan. Pandangan dari Sudut Ekonomi melihat pendidikan sebagai usaha
penanaman modal insani (human investment) dan Sudut Politik pendidikan
diartikan sebagai usaha pembinaan kader bangsa.
Sementara, pandangan Filosofis (Antropologi
Filsafat) mengatakan tentang hakikat manusia banyak sekali
pandangan-pandangan, yang satu dengan lainnya berbeda. Diantaranya, manusia
sebagai Homo Religious (makhluk beragama), maka hakikat pendidikan berarti
mengembangkan kesadaran beragama melalui pendidikan agama.
Bila dilihat dari perkembangan
pendidikan di Indonesia sudah sejak lama tokoh-tokoh pendidikan kita menentang sistem pendidikan penjajahan
Belanda, Inggris, dan Jepang. Dengan konsepsi masing-masing sekaligus para
tokoh pendidikan ini mulai memikirkan (merenungkan) dan merintis bagaimana
konsep pendidikan nasional yang sebenarnya.
K.H. Ahmad Dahlan seorang tokoh
Muhammadiyah pada tahun 1912 menetapkan dasar pendidikannya pada “Agama Islam”.
Perguruan Taman Siswa Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922 memilih dasar
kebudayaan (Nasional), dan Ruang Pendidikan Nasional pada tahun 1926 dari Muh. Syafei menitikberatkan
pendidikan pada pendidikan keterampilan, di samping pendidikan pengetahuan dan
pendidikan moral (budi pekerti). Setelah bangsa Indonesia memasuki jaman
kemerdekaan, pikiran-pikiran tersebut bersama bergandengan dengan pikiran-pikiran
yang lain yang belum terungkap, perlu membuat satu rumusan sebagai wujud dari sistem
pendidikan nasional yang resmi (baku) dan kemudian berlaku bagi seluruh bangsa
Indonesia. Dari sinilah dapat dipahami bahwa pengertian pendidikan itu
berkali-kali telah dirumuskan dan sekaligus disempurnakan menjadi yang terbaik
dan aplikatif bagi bangsa Indonesia.
Dengan demikian pendidikan merupakan
suatu sistem terencana untuk menciptakan manusia seutuhnya (Tim Dosen
Administrasi Pendidikan UPI, 2009). Sistem pendidikan memiliki garapan dasar
yang dikembangkan, diantaranya terdiri dari bidang garapan: peserta didik,
tenaga kependidikan, kurikulum, sarana dan prasarana, keuangan, kemitraan
dengan masyarakat, dan bimbingan dan pelayanan khusus.
C. PENDIDIKAN
SEBAGAI SUATU SISTEM
Sistem adalah keseluruhan yang
terdiri dari bagian-bagian atau suatu yang terorganisasi atau konstruksi bagian
yang membentuk suatu keseluruhan yang komplek. Lebih luas lagi sistem diartikan
sebagai serangkaian komponen/bagian yang saling berkaitan dan berfungsi kearah
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu, misalnya lembaga.instansi
sekolah, adalah suatu sistem.
Dengan
demikian konsep sistem yang kesemuanya mempunyai ciri-ciri yaitu setiap sistem
mempunyai tujuan, komponen, adanya interaksi, proses, penilaian atau
monitoring, dan berdasarkan ciri-ciri tersebut kita dapat mengujinya apakah
sesuatu itu merupakan sistem atau bukan. Oleh karena itu saat ini kita juga
bisa bertanya apakah pendidikan itu merupakan suatu sistem?
1. Tujuan. Tujuan pendidikan merupakan komponen
yang berfungsi sebagai pedoman atau tolak ukur bagi seluruh perencanaan dan
kegiatan pendidikan.
2. Komponen-komponen. Pendidikan diperlukan adanya komponen
yang diharapkan bisa melaksanakan fungsinya sebaik mungkin sehingga terjadi
proses kegiatan pendidikan. Komponen diantaranya adalah tujuan, anak didik,
pendidik, materi, metode, media, dan lingkungan (keadaan rumah tangga, sosial,
ekonomi, dan budaya lingkungan).
3.
Interaksi Antara Komponen. Agar tujuan
sistem dapat tercapai, maka setiap komponen dalam menjalankan fungsinya secara
interaktif. Dalam pendidikan interaksi ini dibentuk dalam bentuk searah, dua
arah atau multi arah yang semuuanya antara komponen satu dengan lainnya bisa
sinergi/bekerjasama dengan baik.
4.
Transformasi/pengolahan. Transformasi dalam
pendidikan berupa aktifitas atau berupa aplikasi fungsi dari setiap komponen
dimana transformasi ini dapat berupa kegiatan belajar mengajar atau kegiatan
pendidikan baik berlangsung secara individual, secara kelompok kecil atau
kelompok besar.
5.
Monitoring dan Umpan Balik. Agar tujuan
dapat tercapai secara maksimal maka fungsi dari setiap komponen harus
terlaksana secara optimal. Bila tujuan tidak tercapai secara maksimal, tentu
ada suatu komponen yang terganggu dalam melaksanakan fungsinya. Dalam suatu sistem,
monitoring merupakan ciri sistem yang menjaga atau merupakan fungsi dari setiap
sistem sesuai dengan planning sebelumnya. Monitoring dilaksanakan pada
waktu proses pendidikan berlangsung (ongoing process). Disamping itu
adanya pernyataan dari anak didik (umpan balik atau feedback) merupakan indikasi bahwa fungsi dari setiap komponen bisa
bekerja secara optimal.
D. KOMPONEN-KOMPONEN
DALAM SISTEM PENDIDIKAN
1.
Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah proses sadar tujuan dan tujuan
menentukan kearah mana peserta didik akan dibawa. Komponen yang lain diarahkan
untuk mencapai tujuan yang dirumuskan. Mengingat urgensi dari tujuan ini, para
ahli merumuskan atau mengklasifikasikannya dalam beberapa tujuan yakni tujuan umum, tujuan khusus, tujuan tak
lengkap, tujuan sementara, tujuan insidentil, dan tujuan intermediair (Tim
MKDK IKIP Surabaya, 1994).
Selain tujuan di atas, telah
dirumuskan juga tujuan pendidikan nasional, adalah suatu tujuan pendidikan
suatu bangsa. Pada saat ini tujuan pendidikan nasional kita tercantum pada Undang-undang
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Sedangkan rumusan yang lain adalah
mengenai tujuan institusional, adalah tujuan pendidikan dari suatu jenjang lembaga
pendidikan tertentu seperti halnya pendidikan dasar dan menengah. Jenjang pendidikan
dasar berbentuk SD/MI dan yang sederajat serta SMP/MTs dan yang sederajat mempunyai
tujuan pendidikan tersendiri yang berbeda dengan tujuan pendidikan menengah yang
berbentuk SMA/MA/SMK/MAK dan yang sederajat.
2.
Isi dan Bahan Pendidikan
Yang
dimakud dengan isi pendidikan adalah bahan-bahan atau materi pendidikan yang
diberikan kepada peserta didik. Isi pendidikan sangat erat kaitannya dengan
tujuan pendidikan, malahan daapat dikatakan isi tujuan pendidikan merupakan
materi pendidikan itu sndiri. Bila tujuan pendidikan akan meningkatkan ilmu
pengetahuan maka materi pendidikan berupa ilmu pengetahuan. Jika tujuan
pendidikan adalah pembentukan sikap dan pemilikan nilai-nilai tertentu maka isi
pendidikannya berupa nilai-nilai, pandangan hidup, perraturan yang berlaku
dalam masyarakat. Bila tujuan pendidikan adalah meningkatkan ketrampilan maka
isi-isi pendidikan berupa ketrampilan tertentu.
Dalam
lingkungan pendidikan sekolah isi pendidikan telah dibakukan dalam kurikulum.
Isi kurikulum tergantung pada tingkatan pengembangan kurikulum di sekolah
masing-masing. Karena menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003, disebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Yang dipakai saat ini adalah
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
3.
Metode Pendidikan
Metode
adalah cara yang berfungsi sebagai alat pendidikan untuk mencapai tujuan.
Banyak metode yang dapat dipakai mendidik, dan setiap metode mempunyai
karakteristik tersendiri, mempunyai kelebihan dan kelemahan tersendiri. Oleh karena
itu setiap pendidik harus dpat memahami karakteristik ini, agar ia dapat
memilih dan menggunakan metode tersebut sehingga proses mendidik efektif dan
efisien.
Berdasarkan
pola dan pendekatan yang ada dalam interaksi antar pendidik, telah dibedakan
metode pendidikan (Tim MKDK IKIP Surabaya, 1994):
a. Metode
Diktatorial, adalah suatu
metode dimana interaksi antar peserta didik dan pendidik banyak didominasi oleh
pendidik, dan pola interaksi yang terjadi bersifat searah yaitu dari pihak
pendidik. Metode ini tepat digunakan bila peserta didik masih banyak memerlukan
bimbingan dan bantuan, tetapi bila peserta didik sudah mulai dapat mandiri maka
sikap diktatorr atau otoriter harus berangsur-angsur dikurangi.
b. Metode
Liberal, metode ini lebih
banyak memberi kebebasan kepada peserta didik, sehingga kadar kegiatan lebih
banyak pada peserta didik. Metode ini sangat tepat dipakai bila peserta didik
telah mempunyai sikap mandiri dan rasa tanggung jawab sehingga kebebasan yang
diberikan kepadanya menjadi kondisi berkembangnya kreatifitas peserta didik.
c. Metode
Demokratis, dalam metode
ini hubungan antara peserta didik dan pendidik bersifat interaktif (dua arah),
dan memungkinkan adanya kerja sama antara keduanya. Dalam metode ini peserta
didik tidak hanya dipandang sebagai obyek didik. Realisasi metode ini kadang
tampak dalam sikap dari pendidik dalam melaksanakan interaksi dengan peserta
didik.
4.
Alat/media Pendidikan
Alat
pendidikan diartikan sebagai berbagai situasi dan kondisi, tindakan, segala
perlakuan atau sesuatu yang diadakan dengan sengaja dan terencana yang secara
langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Alat pendidikan dibedakan menjadi dua
golongan:
a. Alat
pendidikan yang bersifat rohaniah (normatif), adalah alat pendidikan yang berkenaan dengan tindakan, ucapan atau
reaksi, yang berfungsi preventif (dapat berupa keteladanan, anjuran, suruhan,
pengarahan, dan pembiasaan [positif], serta peraturan yang memberi larangan
[negatif]), dan juga represif pencegahan dan reaksi terhadap perbuatan tertentu
(dapat berupa isyarat tanda setuju, memberi dukungan, kata puas dan hadiah
[positif], serta isyarat tanda tidak setuju, kata-kata tidak setuju, teguran,
kecaman, ancaman dan hukuman [negatif]).
b. Alat
pendidikan yang bersifat kebendaan,
alat ini dapat berupa alat pelajaran atau sarana pengajaran yang dapat
digolongkan atas (1) alat pendidikan individual (seperti buku dan alat tulis
menulis), dan alat yang bersifat klasikal (seperti papan tulis, peta, dan
sebagainya), (2) alat pendidikan yang memberi pengalaman langsung (seperti
benda langsung, keadaan/kejadian nyata), dan alat pengajaran yang memberi
pengalaman tidak langsung (seperti gambar, model), dan (3) alat pelajaran yang
berupa bahan cetak (seperti buku pelajaran, brosur), dan alat pengajaran yang
bersifat elektronik (seperti TV, kaset, film, LCD, laptop, dan sebagainya)
Demikian juga ditegaskan dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun
2003 pasal 45, bahwa setiap satuan
pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik,
kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
5.
Pendidik
Pendidik
pada hakikatnya merupakan komponen instrumental yang bertanggungjawab penuh
dalam proses pendidikan yang mengarah kepada pencapaian tujuan yang diharapkan.
Proses pendidikan dapat terjadi dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan
sekolah. Oleh karena itu pendidik dapat digolongkan atas, pendidik dalam
lingkungan keluarga yang diperankan oleh orang tua atau keluarga dekat,
pendidik dalam lingkungan masyarakat yang dipikul oleh tokoh masyarakat, dan
pendidik dalam lingkungan sekolah yang dibebankan pada guru (pendidik) atas
dasar jabatan.
Dengan
demikian pendidik merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik
pada perguruan tinggi.
Mengingat beban tugasnya yang amat berat
maka sebagai pendidik di lingkungan formal dituntut memiliki persyaratan dasar,
ketrampilan tehnik yang didukung oleh sikap kepribadian yang mantap. Kempetensi
yang harus dimiliki seorang guru seperti yang jelaskan oleh Tim MKDK IKIP
Surabaya (1994) adalah:
a. Kompetensi profesional, artinya memiliki pengetahuan yang luas
dalam bidangnya, menguasai berbagai multi metode dan multi media (artinya
memiliki konsep teoritik pengetahuan yang diperlukan dalam tugasnya dan mampu
mengetrapkannya sesuai dengan kebutuhan sehingga terjadi proses belajar
mengajar yang efektif dan efisien).
b. Kompetensi personal, artinya memilki sikap kepribadian yang
mantap (berakhlak mulia), sehingga mampu menjadi sumber inspirasi dan
identifikasi bagi subyek didik.
c. Kompetensi sosial, artinya mampu berkomunikasi sosial baik dengan
siswa maupun dengan sesama guru, dengan orang tua siswa, dan dengan masayarakat
luas.
d. Kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya, berarti
mengutamakan nilai kemanusaiaan dari pada nilai benda materiil.
6.
Peserta Didik
Secara
umum dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan peserta didik ialah individu
yang dijadikan sasaran kegiatan pendidikan agar dapat mencapai tujuan yang
diharapkan. UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 telah mendifinisikan bahwa peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu. Tentang hak peserta didik di Indonesia telah dijelaskan
bahwa setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak:
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
c. Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi
yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka
yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
e. Pindah ke program pendidikan pada jalur
dan satuan pendidikan lain yang setara.
f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai
dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari
ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
Sedangkan mengenai kewajiban, setiap
peserta didik berkewajiban:
a. Menjaga norma-norma pendidikan untuk
menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.
b. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan
pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Warga negara asing dapat menjadi peserta
didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Berkaitan dengan manusia sebagai subjek
pendidikan, pada dasarnya hakikat peserta didik adalah sebagai berikut:
a. Peserta didik adalah pribadi yang sedang
berkembang.
b. Peserta didik bertanggungjawab atas
pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
c. Peserta didik adalah pribadi yang memiliki
potensi baik fisik maupun psikologi yang berbeda-beda sehingga masing-masing
merupakan insan yang unik.
d. Peserta didik memerlukan pembinaan
individual dan perlakuan yang manusiawi.
e. Peserta didik pada dasarnya merupakan
insan yang aktif menghadapi lingkungannya.
7.
Lingkungan Pendidikan
Manusia adalah makhluk hidup yang tidak
lepas dari pengaruh lingkungan. Sejak lahir manusia selalu berinteraksi dengan
lingkungan. Interaksi ini berlangsung secara timbal balik dalam arti manusia
dipengaruhi oleh lingkungan dan lingkungan dipengaruhi oleh manusia.
Terbentuknya kepribadian seseorang
merupakan hasil intensi antara dirinya, proses pendidikan dan lingkungannya.
Hal ini disebabkan karena kegiatan pendidikan selalu berlangsung dalam
lingkungan tertentu dan selalu dipengaruhi oleh kondisi dimana pendidikan
berlangsung atau kondisi lingkungan darimana peserta didik berasal.
Yang dimaksud dengan lingkungan
pendidikan adalah suatu upaya yang diciptakan untuk membantu kepribadian
individu tumbuh dan berkembang serta bermanfaat bagi kehidupan (Tim Dosen
Administrasi Pendidikan UPI, 2009). Lingkungan pendidikan dapat berupa
lingkungan fisik, lingkungan sosial, atau dapat berupa hal-hal yang abstrak
yang ada di sekitar kita misalnya situasi ekonomi, politik, agama dan adat istiadat
dan kebudayaan. Dilihat dari tempat berlangsungnya pendidikan dikenal tiga
macam lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat,
dan lingkungan sekolah.
Kondisi lingkungan keluarga seperti
kondisi ekonomi, hubungan antar anggota keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan
orang tua, jumlah keluarga, agama keluarga, sangat berpengaruh terhadap proses
pendidikan anak dari keluarga tersebut.
Keadaan lingkungan yang lebih luas
seperti rendahnya pendidikan masyarakat, kuatnya suatu nilai yang dipegang oleh
masyarakat tertentu, kondisi alamiah dari lingkungan seperti lingkungan pantai,
lingkungan petani, lingkungan nelayan, lingkungan perusahaan, lingkungan desa, lingkungan
kota dan lain-lain akan mempengaruhi pelaksanaan pendidikan di masyarakat.
Demikian juga lingkungan di sekolah
yang kondisinya berbeda-beda yang tergantung dari lingkungan masyarakatnya
seperti lingkungan yang indah, lingkungan kumuh, lingkungan pegunungan, lingkungan
pantai dan juga kondisi peserta didik, kondisi pendidik, kondisi orang tua
siswa akan sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang ada di sekolah.
E. TEORI
KLASIK DALAM PENDIDIKAN
Usaha pendidikan dilakukan manusia
berdasarkan keyakinan tertentu. Keyakinan ini didasarkan atas suatu pandangan,
baik filosofis (berdasarkan penalaran) maupun teoritis (berdasarkan penelitian ilmiah).
Pandangan ini merupakan titik tolak yang wajar. Artinya bahwa setiap orang akan
melakukan suatu pekerjaan kalau tujuan dan hasil pekerjaan itu mereka yakini
dapat dicapai. Demikian pula usaha pendidikan yang dilakukan secara melembaga.
Keyakinan tersebut disebut para ahli
sebagai hukum-hukum dasar atau teori-teori pendidikan, dapat juga dikatakan
sebagai teori klasik dalam pendidikan (Tim Dosen FIP IKIP Malang, 1980). Teori
ini dipandang sebagai ide-ide dalam filsafat pendidikan yang meliputi:
1.
Teori (hukum) Empirisme
Ajaran
filsafat Empirisme yang dipelopori oleh John Locke (1632-1704) mengajarkan
bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, terutama
pendidikan. John Locke berkesimpulan bahwa tiap individu lahir sebagai kertas
putih, dan lingkungan itulah yang “menulisi” kertas putih itu. Teori ini
terkenal sebagai teori Tabularasa/teori Empirisme. Menurut teori ini faktor
pengalaman yang berasal dari lingkungan sangat menentukan pribadi seseorang.
Dengan demikian karena lingkungan relatif dapat diatur dan dikuasai manusia,
maka teori ini bersifat optimis dengan tiap-tiap perkembangan pribadi.
2.
Teori (hukum) Nativisme
Ajaran
filsafat Nativisme yang tokohnya adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860)
menganggap faktor pembawaan yang bersifat kodrati dari kelahiran, yang tidak
dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan, itulah kepribadian
manusia. Potensi-potensi itulah pribadi seseorang, bukan hasil pendidikan.
Tanpa potensi hereditas yang baik, seseorang tidak mungkin mencapai taraf yang
dikehendaki, meskipun dididik secara maksimal. Seorang peserta didik yang
potensi hereditasnya rendah, akan tetap rendah meskipun ia sudah dewasa dan
sudah dididik. Pendidikan tidak bisa merubah manusia karena potensi itu
bersifat kodrati. Ajaran filsafat ini berkesimpulan bahwa perkembangan pribadi
hanya ditentukan oleh faktor hereditas, faktor dalam yang berarti kodrati. Ajaran
Nativisme ini dapat dianggap sebagai aliran yang pesimistis karena menerima
kepribadian apa adanya, tanpa kepercayaan adanya nilai (pendidikan untuk
merubah kepribadian).
3.
Teori (hukum) Konvergensi
Bagaimanapun
kuatnya alasan kedua pandangan aliran di atas, namun keduanya kurang realistis.
Fakta menunjukkan, bahwa potensi hereditas yang baik saja, tanpa pengaruh
lingkungan (pendidikan) yang positif tidak akan membina kepribadian yang ideal.
Sebaliknya, meskipun lingkungan (pendidikan) yang positif dan maksimal tidak
akan menghasilkan kepribadian yang ideal tanpa potensi hereditas yang baik. Oleh
karena itu teori Konvergensi yang dikemukakan oleh William Stern (1871-1938)
mengatakan bahwa perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerjasama
kedua faktor, baik internal (potensi-hereditas) maupun faktor eksternal
(lingkungan-pendidikan). Tiap pribadi adalah hasil konvergensi faktor internal
dan eksternal.
Ketiga teori dasar di atas dikenal
sebagai asas-asas filsafat pendidikan, yaitu aliran Empirisme, aliran
Ideologis, dan aliran Realisme. Konsekwensi pandangan Nativisme (aliran
Ideologis) sepintas lalu mengabaikan peranan pendidikan. Tetapi sebenarnya,
sebagai aliran yang mendasarkan perkembangan pribadi atas potensi-potensi
heriditas, maka pendidikan dipusatkan pada usaha merealisasi potensi itu. Aliran
yang secara nyata mengutamakan peranan vital pendidikan adalah Empirisme. Hanya
pendidikan khususnya, dan lingkungan yang baik yang mampu membina pribadi
ideal. Demikian pula pandangan teori Konvergensi (aliran Realisme) berpendirian
bahwa bagaimanapun baiknya potensi-heriditas, masih harus dilengkapi dengan
lingkungan dan pendidikan yang baik untuk membina pribadi ideal.
F. RELEVANSI
PENDIDIKAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Sebagaimana telah dijelaskan di atas
bahwa pendidikan merupakan usaha yang diciptakan lingkungan secara sengaja dan
bertujuan untuk mendidik, melatih dan membimbing seseorang agar dapat mengembangkan
kemampuan individu dan sosial. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan seseorang (Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, 2009).
Sedangkan ilmu pendidikan merupakan sebuah sistem pengetahuan tentang
pendidikan yang diperoleh dari penelitian atau riset. Oleh karena pengetahuan
yang dihasilkan riset tersebut disajikan dalam bentuk konsep-konsep pendidikan,
maka ilmu pendidikan dapat pula dibatasi sebagai sebuah sistem konsep
pendidikan yang dihasilkan melalui riset.
Disamping
mempunyai sosok dalam bentuk, ilmu pendidikan mempunyai obyek yang menjadi ruang
lingkup dan hal-hal yang diteliti. Oleh karena itu, hubungan pendidikan dan
ilmu pendidikan sangatlah erat. Hubungan antara keduanya adalah bahwa
pendidikan merupakan obyek formal ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2008). Artinya dalam
melakukan riset, para ahli di bidang pendidikan mempunyai bidang garapan yang
jelas sebagai obyek yang menjadi fokus penelitian, yaitu pendidikan. Dengan
demikian pendidikan menjadi obyek formal atau bidang yang menjadi keseluruhan
ruang lingkup garapan riset pendidikan.
Selain
menjadi obyek formal ilmu pendidikan, pendidikan juga menjadi obyek material
ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2008). Di sinilah relevansi keduanya dimana
pendidikan adalah sebagai sebuah sistem. Pendidikan tetap merupakan salah satu
bentuk kegiatan dalam kehidupan manusia, yang berawal dari hal-hal yang
bersifat aktual menuju pada hal-hal yang ideal. Hal-hal yang bersifat aktual
berkenaan dengan kondisi-kondisi yang telah ada pada peserta didik dan
lingkungan tempat berlangsungnya kegiatan belajar. Sementara hal-hal yang ideal
berhubungan dengan cita-cita yang secara langsung atau tidak langsung tertuju
pada sosok manusia idaman. Dengan demikian hal ini semua berhubungan dengan
tujuan pendidikan dan tujuan hidup.
G. SIMPULAN
Hakikat pendidikan dalam kehidupan
manusia merupakan suatu bentuk kegiatan yang aktual dan ideal. Hal ini
didasarkan pada suatu fakta bahwa pendidikan merupakan ranah penting yang di
dalamnya terdapat aktifitas dari usaha manusia dalam rangka meningkatkan kepribadiannya
dengan jalan membina serta mengembangkan potensi-potensi diri yaitu potensi
rohani (pikir, karsa, rasa, cipta, budinurani) dan potensi jasmani
(pancaindera, skill). Dari usaha sadar dan terencana itulah diharapkan segera
terwujud apa yang terkandung di dalam tujuan pendidikan dan tujuan hidup dengan
mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa di
dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, kita sebagai pendidik/calon pendidik
maupun sebagai akademisi yang berperan sebagai subyek dan obyek pendidikan
harus mempunyai perasaan yang penuh terhadap pendidikan (sense of educating).
Artinya ketika kita sudah telanjang bulat terjun di medan pendidikan seyogyanya
kita masuk secara maksimal dalam proses pendidikan itu. Dengan optimalnya
keterlibatan kita maka niat yang ada di dalam hati nurani kita masing-masing bisa
menjadi inspirator ke depan. Oleh karena itu diantara hal yang harus dikerjakan
sebagai langkah awal adalah berusaha memahami pendidikan dimana sebagai obyek
formal dan obyek material ilmu pendidikan. Dengan pemahaman yang komprehensif sejak
dini, kelak kita akan bisa memanfaatkan apa yang sudah tertanam dalam diri dan
jiwa ini dalam suatu medan pendidikan yang real.
DAFTAR
PUSTAKA
Mudyahardjo, Redja. (2008). Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu
Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI. (2009).
Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Tim Dosen FIP-IKIP Malang. (1980). Pengantar
Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Tim MKDK IKIP Surabaya. (1994). Pengantar
Pendidikan. Surabaya: University Press IKIP Surabaya.
Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (online). URL: http://www.dikti.org/UUno20th2003.Sisdiknas.htm.
(Diakses pada tanggal 1 April 2010).
0 comments:
Post a Comment